OPINI : Meretas Kebijakan Poros Maritim Dunia Dari Aspek Komitmen Mendorong Pengembangan Infrastruktur Dan Konektivitas Maritim

oleh -345 Dilihat
oleh
Abd. Hasim Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo

Oleh : Abd. Hasim
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pertanian
Program Pasca Sarjana Universitas Haluoleo

Muarasultra.com, KONAWE – Dalam pertemuan East Asia Summit IX di Myanmar, Joko Widodo, sebagai Presiden Indonesia mencanangkan agenda pembangunan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan lima pilar utama. Kelima pilar tersebut adalah:

1) Membangun kembali budaya maritim Indonesia;
2) Menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama;
3) Pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim;
4) Diplomasi maritim dengan bersama-sama menghilangkan sumber konflik di laut; dan
5) Membangun kekuatan pertahanan maritim.
Pilar ketiga berupa pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim merupakan upaya nyata sebagai penghubung agar dapat meminimalkan hambatan perdagangan, pelayanan, dan informasi, yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat.

Dukungan kebijakan, berupa perencanaan kebijakan, perbaikan kondisi infrastruktur, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, dan koordinasi antar sektor seharusnya dapat membuat konektivitas maritim nasional terealisasi dalam merencanakan tindakan berikutnya yang akan dilakukan.

Salah satunya adalah menjadikan pelabuhan utama sebagai port city. Konsep port city merupakan pilihan bentuk pengembangan kawasan pelabuhan, dengan tipikal struktur pendapatan berupa 60 persen layanan pelabuhan dan 40 persen layanan properti. Konsep ini perlu diadopsi karena tiga alasan, yaitu: 1) mitigasi risiko bisnis pelabuhan, 2) meningkatkan minat pemerintah daerah untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada belanja publik, dan 3) fokus pada strategi pertumbuhan. Pemerintah dan pemerintah daerah dapat berbagi kewenangan dalam mengembangkan port city, dan port city harus memiliki integrasi dengan industri yang terus tumbuh sehingga pengembangan konektivitas maritim dapat mencapai cita-cita yang diharapkan, yaitu menjadikan maritim sebagai motor perekonomian nasional.

Tujuan dari kebijakan konektivitas maritim adalah meningkatkan daya saing yang selama ini dipermasalahkan pelaku usaha, mempersingkat waktu produk yang dikirim dari Indonesia ke negara pemesan, meningkatkan ketersediaan produk yang dibutuhkan masyarakat, namun tidak diproduksi di daerah tersebut dengan harga terjangkau, dan membuka daerah terpencil melalui pengembangan pelayaran. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan terlebih dahulu pemetaan masalah yang dihadapi dalam konektivitas maritim.

A. Deskripsi Rencana Pengembangan Konektivitas Maritim

Konsep tol laut dapat mengatasi persoalan utama transportasi laut berkaitan dengan ketidakseimbangan volume pengangkutan barang antara kawasan barat dan timur Indonesia. Konsep ini dapat menjadi solusi yang efektif dalam mencegah berlayarnya kapal berkapasitas kosong dari satu tempat ke tempat lain dan diharapkan dapat mewujudkan system distribusi barang yang efisien serta terintegrasi. Tingginya biaya logistik Indonesia menjadi beban bagi perusahaan penyedia jasa logistik, yang tentunya berimbas pula pada perusahaan manufaktur. Beban biaya transportasi muncul sejak proses memasok bahan baku sampai dengan proses paling hilir dari rantai pasok, yakni pengiriman barang jadi ke konsumen. Inefisiensi dan keterbatasan sarana dalam aktivitas pelabuhan menyebabkan banyak biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

B. Kendala Pengembangan Konektivitas Maritim

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan konektivitas maritim terdiri dari waktu bongkar-muat, birokrasi perizinan, kapasitas eksisting, dan sumber daya manusia. Selain itu, terjadi juga permasalahan ketersediaan infrastruktur, energi, teknologi dan informasi, serta pendanaan. Agar tujuan dari pengembangan konektivitas maritim tercapai, maka diperlukan sejumlah perbaikan yang terdiri dari peningkatan fasilitas infrastruktur, ketersediaan energi, inovasi teknologi dan informasi, kualitas sumber daya manusia, pendanaan, dan kapasitas eksisting; penurunan terhadap waktu bongkar-muat dan birokrasi perizinan. Waktu bongkar-muat dan birokrasi perizinan yang lebih lama dan berbelit merupakan hambatan yang banyak dikeluhkan oleh pelaku usaha.

C. Dukungan Kebijakan

Dukungan kebijakan yang harus dilakukan untuk mendukung konektivitas maritim berupa:

1. Perencanaan Kebijakan

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan sejumlah perbaikan dalam perencanaan kebijakan agar kesenjangan antara pulau besar dan pulau-pulau kecil dapat diminimalkan. Pada tatanan praktis, sangat penting bagi Indonesia untuk mengatasi kesenjangan dalam sabuk maritim, yang sebagian besar merupakan konsekuensi dari skala ekonomi (misalnya factor beban). Sebagian besar sabuk maritim di bagian barat Indonesia telah dikomersialisasikan karena tingginya aktivitas ekonomi di daerah tersebut, dan dengan demikian dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam konektivitas maritim regional atau bahkan global. Sebagian besar sabuk maritim di kawasan timur Indonesia masih dirintis karena kurangnya kegiatan ekonomi di daerah tersebut, dan dengan demikian tidak dapat dengan mudah diintegrasikan dengan konektivitas maritim regional.

2. Perbaikan Kondisi Infrastruktur

Kebijakan pembangunan infrastruktur sudah termuat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang membagi wilayah Indonesia menjadi sembilan kegiatan ekonomi utama. Secara substantif, konsep MP3EI dengan konektivitas maritim sejalan dan dapat saling melengkapi. Atas dasar itu, maka kebijakan dalam MP3EI masih dapat digunakan dan dapat diteruskan. Konsep MP3EI memang tidak kental dengan konsep poros maritim, namun di dalamnya terdapat prioritas kegiatan yang didasarkan pada potensi wilayah. Guna mendukung efektifitas dari potensi tersebut, maka diperlukan pengembangan transportasi yang sesuai dengan karakteristik wilayah di Indonesia, yaitu wilayah kepulauan, dan sebagai penghubungnya diperlukan transportasi berupa kapal.

3. Peningkatan Kapasitas SDM Maritim

Rendahnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh Indonesia harus segera ditingkatkan, karena terkait dengan inovasi. Dalam konteks kebijakan konektivitas maritim, maka inovasi yang perlu dilakukan merupakan inovasi proses, seperti dirumuskan oleh Rademakers, sebagai metode baru dalam menjalankan kegiatan bernilai tambah (misalnya distribusi atau produksi) yang lebih baik atau lebih murah. Beberapa bentuk strategi yang perlu dilakukan guna meningkatkan kemampuan SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang maritim adalah merumuskan kebijakan nasional di bidang teknologi yang bersifat jangka panjang, serta menggiatkan dan mendukung program pendidikan dan pelatihan teknologi yang berkelanjutan termasuk dukungan anggarannya, menambah perguruan tinggi dan sekolah menengah kejuruan di bidang maritim, dan menambah peneliti yang fokus di sektor maritim.

4. Koordinasi Antar Instansi

Keberhasilan konektivitas maritim memerlukan dukungan dari banyak instansi/lembaga, bukan saja Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi juga pemerintah daerah, Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara dan Kementerian BUMN yang bertugas sebagai regulator dari BUMN yang bergerak di sektor perkapalan. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dalam membangun infrastruktur perlu dilakukan koordinasi investasi Pusat, Daerah, BUMN dan Swasta serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendanaan infrastuktur serta pengembangan mekanisme pendanaan alternatif (creative financing scheme). Oleh karena itu, harus ada ketegasan kriteria dan ruang lingkup penugasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di dalam pembangunan infrastruktur serta memperjelas kewenangan antara pusat dan daerah di dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Di samping itu, perlu adanya peningkatan kualitas Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) yang bankable untuk menjamin kepastian bagi investor melalui pengintegrasian proses KPS dalam mekanisme perencanaan dan penganggaran pada masing-masing sektor infrastruktur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *