Kontribusi Tiga Perusahaan Ini Menyebabkan Deforestasi Hingga Pencemaran Laut di Sulawesi Selatan

oleh -623 Dilihat
oleh
Kontribusi Tiga Perusahaan Ini Menyebabkan Deforestasi Hingga Pencemaran Laut di Sulawesi Selatan.

Muarasultra.com, LUWU TIMUR – Berdasarkan pantauan dan catatan WALHI Sulawesi Selatan yang dilakukan per September 2021, saat ini, dari enam perusahaan tambang nikel di Sulawesi Selatan, ada tiga perusahan yang sedang menambang nikel di bentang alam hutan Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Pertama PT Vale Indonesia Tbk, di Blok Sorowako. Kemudian PT Prima Utama Lestari, dan yang ketiga, PT Citra Lampia Mandiri, di Blok Landau.

Luas konsesi tambang ketiga perusahaan ini mencapai 74.253,4 Ha. Dengan demikian 74.253,4 Ha hutan Sulawesi Selatan yang dulunya berfungsi sebagai habitat flora dan fauna, sumber kehidupan masyarakat adat
dan local serta daerah tangkapan air telah berubah fungsi menjadi area pertambangan nikel.

Kemudian, berdasarkan pantauan dan kajian ruang yang dilakukan WALHI Sulsel atas dukungan organisasi selamatkan hutan hujan, luas deforestasi akibat pertambangan nikel di Sulawesi Selatan telah mencapai 4.752,87 Ha. Kerusakan hutan ini tentu saja akan terus meningkat sejalan dengan semakin masifnya aktivitas tambang nikel di Pegunungan Verbeck, Sulawesi Selatan.

 

Sebagai contoh di area konsesi tambang PT Vale Indonesia Tbk. Berdasarkan hasil kajian dan investigasi lapangan yang kami lakukan pada Agustus 2021, dari 70.566 Ha konsesi tambang yang diberikan oleh pemerintah, telah terjadi deforestasi seluas 4.449,22 Ha.

Kerusakan hutan tersebut ternyata telah memberi dampak yang sangat buruk bagi kelestarian danau purba yang berada dekat di sekitar konsesi PT Vale Indonesia.

Danau Mahalona, salah satu danau purba di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang berada diantara konsesi tambang PT Vale Indonesia saat ini sedang mengalami pendangkalan.
Berdasarkan keterangan masyarakat Desa Tole, pendangkalan di Danau Mahalona terjadi akibat sedimentasi bekas tambang PT Vale Indonesia.

Masyarakat melihat secara jelas bagaimana proses masuknya sedimentasi bekas tambang PT Vale masuk ke Danau Mahalona. Masuknya sedimentasi bekas tambang sering terjadi saat hujan lebat dan terutama saat PT Vale membuka pintu bendungan “pete’a”. Dan sampai saat ini, pendangkalan akibat sedimentasi di Danau Mahalona terus mengalami peningkatan.

Berangkat dari kondisi tersebut, masyarakat berharap agar Izin Usaha Pertambangan PT Vale Indonesia ditinjau Kembali. Masyarakat meminta agar konsesi PT
Vale Indonesia dikurangi, terutama konsesi yang berada di area yang beririsan langsung
dengan tiga danau purba Sulawesi Selatan (Danau Matano, Danau Mahalona dan Danau Towuti).

Tidak hanya deforestasi, dari pantauan dan analisa WALHI Sulsel terhadap peta konsesi PT Vale Indonesia yang kami overlay dengan peta kawasan hutan Sulawesi Selatan, ditemukan bahwa setengah bahkan lebih dari setengah konsesi PT Vale Indonesia masuk dalam kawasan hutan lindung. Luasnya mencapai 42.585,055 Ha. Dengan demikian, hutan di
pegunungan verbeck yang hakikatnya memiliki fungsi ekologi yang sangat tinggi serta fungsi lindung yang sangat esensial telah dikorbankan oleh pemerintah untuk mempermudah bisnis nikel yang dijalankan PT Vale Indonesia.

Maka berdasarkan data dan kajian tersebut, terlihat bahwa dampak dan resiko kerusakan lingkungan di area konsesi tambang PT Vale Indonesia akan sangat besar. Dan akan banyak masyarakat yang terdampak resiko kerusakan hutan tersebut. Hal inilah yang melandasi masyarakat menentang keberadaan aktivitas tambang PT Vale Indonesia di kawasan hutan lindung, terutama perempuan yang hidup dan menggantungkan hidup dari hutan. Karena keuntungan yang diperoleh PT Vale Indonesia dari bisnis nikel mereka jauh lebih besar dari pajak yang diterima pemerintah. Akan tetapi, pemerintah dan masyarakat yang akan paling besar menanggung kerusakan dan pemulihan
lingkungan di masa depan.

Kemudian dampak yang lain dari aktivitas tambang nikel di Sulawesi Selatan adalah
pencemaran sungai dan laut. Kita tahu bahwa air sungai bersumber dari mata air di hulu dan mengalir ke hilir. Maka bila terjadi perubahan lingkungan atau kerusakan lingkungan (hutan) di hulu, maka sungai akan tercemar dan pencemaran di sungai akan bermuara sampai ke laut.

Potret pencemaran sungai dan laut tersebut terjadi di area tambang milik PT Citra Lampia Mandiri. Penebangan hutan dan penambangan nikel telah membuat Sungai Laoili, Pongkeru hingga Sungai Malili tercemar. Warnanya berubah menjadi coklat pekat, dan berlumpur.

Menurut keterangan warga Desa Lampia dan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai, pencemaran sungai tersebut mulai terjadi saat PT Citra Lampia Mandiri mulai beroperasi menambang nikel di hutan. Masyarakat pun tidak pernah diberi tahu terkait sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang dijalankan oleh PT CLM (Citra Lampia
Mandiri).

Selain itu, perusahaan tidak pernah melakukan konsultasi publik sebelum melakukan penambangan atau sebelum menambang nikel. Walaupun begitu, masyarakat sangat yakin bahwa pencemaran yang terjadi mulai dari sungai Laoili hingga Sungai Malili disebabkan oleh aktivitas tambang nikel dari konsesi milik PT CLM.

Pada tahun 2019, warga Desa Lampia pernah melakukan aksi protes terkait pencemaran sungai Laoli. Mereka menuntut perusahaan untuk menghentikan aktivitas tambang nikel di hutan karena berdampak pada pencemaran sungai yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat. Dampak pencemaran sungai ini, masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan air sungai, baik untuk dikonsumsi, maupun untuk keperluan lain seperti untuk mandi, dan
mencuci bagi perempuan.

Selain itu, salah satu alasan masyarakat meminta perusahaan bertanggung jawab atas pencemaran sungai karena sebelum pertambangan nikel PT Citra Lampia Mandiri ini beroperasi, masyarakat sering memancing ikan di sungai, baik untuk makan sehari-hari maupun untuk dijual ke pasar. Namun setelah tambang beroperasi, sungai Laoili hingga Sungai Malili tercemar, lumpur masuk ke sungai, masyarakat tidak lagi dapat mencari ikan di sungai. Dengan demikian, sudah sangat nyata bahwa kerusakan hutan akibat tambang nikel
PT Citra Lampia Mandiri telah berdampak buruk bagi ekosistem sungai sehingga membuat ekonomi masyarakat di sekitarnya ikut terganggu.

Terakhir, pencemaran laut sebagai dampak tambang nikel di Sulawesi Selatan. Setelah
mendapat dukungan dari organisasi selamatkan hutan hujan, WALHI Sulsel akhirnya mampu melakukan kunjungan ke beberapa desa-desa pesisir untuk melihat dampak tambang nikel terhadap ekosistem pesisir dan laut. Dalam investigasi WALHI Sulsel, kami menemukan bahwa dampak tambang nikel di Sulsel tidak hanya mendangkali danau dan mencemari
sungai, namun juga mencemari laut.
Gambar 9 Potret pencemaran Laut Lampia, Luwu Timur akibat dampak tambang PT Citra Lampia Mandiri.

Pencemaran laut Lampia ini terjadi di area konsesi tambang PT Citra
Lampia Mandiri.

Menurut informasi nelayan, pencemaran lumpur di laut Lampia bersumber dari aktivitas tambang PT Citra Lampia Mandiri yang masuk melalui sungai. Selain itu, lumpur bekas tambang juga bersumber dari tumpahan material tambang di kapal pengangkut material nikel.

Nelayan mengatakan bahwa sebelum PT CLM beraktivitas dan menambang nikel di Blok Landau, Laut Lampia sangat bersih, potensi ikannya juga sangat melimpah. Bahkan di laut lampia, ikan jenis ikan baronang sangat sering ditangkap nelayan.
Lalu, pada saat PT Citra Lampia Mandiri mulai beroperasi, air laut tiba-tiba berubah warna menjadi merah, terutama saat hujan turun.

Awalnya, air sungai berubah warna menjadi merah lalu masuk ke laut, sehingga air laut pun keruh dan berubah menjadi merah. Kejadian ini terus terjadi hampir setiap hari. Bahkan menurut masyarakat, pada saat musim hujan, nelayan tidak pernah menemukan air laut bersih seperti dulu. Lalu, saat musim kemarau, lumpur-lumpur
yang masuk ke laut mengendap di dasar laut, sehingga pesisir Lampia mengalami
pendangkalan.

Pencemaran laut akibat masuknya lumpur tambang ke laut juga berdampak bagi rusaknya habitat biota laut. Berdasarkan pengamatan tim investigasi WALHI Sulsel dan penjelasan nelayan Desa Lampia, pencemaran laut yang terjadi akibat masuknya lumpur tambang nikel
ke laut telah menurunkan kualitas hidup ekosistem mangrove di Pesisir Lampia.

Dengan begitu, habitat kepiting dan ikan baronang juga ikut rusak. Buktinya nelayan saat ini sangat sulit mendapatkan ikan baronang dan kepiting di pesisir Lampia.

Kemudian, endapan lumpur tambang di Laut Lampia juga telah merusak pertumbuhan terumbu karang dan biota laut lainnya seperti spongia dan rumput laut. Para nelayan Lampia mengatakan bahwa banyak terumbu karang dan spongia mati akibat pencemaran lumpur
tambang nikel.

Hal ini disebabkan karena jumlah lumpur yang masuk mencemari dan
mengendap di dasar laut sudah sangat banyak. Masyarakat memperkirakan pencemaran di laut lampia telah terjadi sejak tahun 2019.

Yang sangat penting juga adalah dampak kerusakan atau pencemaran laut bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dalam diskusi antara WALHI Sulsel dengan perempuan pesisir Lampia, di sela-sela investigasi, mengatakan bahwa pendapatan nelayan di Pesisir Lampia sangat turun tiga tahun terakhir. Pendapatan nelayan turun sejak hadirnya tambang nikel di
hutan (gunung).

Tahun 2020 dan 2021, penurunan hasil tangkap nelayan sangat nyata dan
betul-betul dirasakan perempuan pesisir Lampia, ditambah lagi harga ikan pada saat itu turun drastis akibat pandemi. Sementara, kegiatan tambang tidak berhenti di masa pandemic. Selain itu, para nelayan juga harus mencari ikan lebih jauh dari tiga tahun lalu, atau sebelum ada tambang nikel. Dengan demikian biaya produksi nelayan bertambah, sementara hasil tangkapan nelayan tidak bertambah.

Hal ini membuat perempuan-perempuan pesisir juga mengalami penurunan ekonomi. Kemudian, dulu, sebelum perusahaan tambang nikel datang, para perempuan-perempuan di Desa Lampia sering mencari karang, kepiting di pesisir.

Namun setelah laut mereka tercemar, tidak ada lagi karang dan kepiting yang mereka bisa tangkap. Alhasil aktivitas ekonomi perempuan pesisir berhenti total.
Kini, perempuan-perempuan pesisir harus lebih berfikir keras agar dapat bertahan hidup di tengah pencemaran dan kerusakan laut akibat tambang nikel. Sudah banyak perempuanpesisir Lampia yang menjual aset mereka. Menjual perhiasan mereka agar bisa tetap membeli
beras untuk makan.

Selain itu, saat ini banyak perempuan pesisir Lampia yang meminjam
uang agar dapat bertahan hidup bersama keluarga, sambal berharap hasil tangkap nelayan meningkat. Namun perempuan menyadari bahwa harapan itu sulit terwujud karena laut mereka sudah dan terus dicemari lumpur tambang nikel.
Sehingga mereka berharap agar pemerintah segera bertindak agar tambang nikel di gunung (hutan) dihentikan karena telah merusak laut dan memiskinkan perempuan-perempuan disepanjang pesisir Lampia.

Lanjut dari pada itu, perempuan-perempuan pesisir Lampia juga
mengajak semua pihak untuk bersama-sama menghentikan ekspansi nikel di hutan Sulawesi Selatan agar kehidupan nelayan, petani dan perempuan tidak terganggu. Dan yang paling terakhir, perempuan juga mendesak kepada PT Citra Lampia Mandiri agar bertanggungjawab penuh atas pencemaran laut di Lampia. (CATATAN WALHI)

Laporan : Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *