Ilustrasi.
Muarasultra.com, KENDARI– Dugaan pelecehan seksual yang melibatkan oknum dosen berinisial RA di lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Halu Oleo (UHO) bukan sekadar persoalan etika pribadi. Ini adalah lonceng bahaya tentang relasi kuasa yang timpang, sistem kampus yang lalai, serta ruang aman akademik yang terus menyempit bagi perempuan.
C. Yufal, mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHO, menyebut hubungan personal antara dosen dan mahasiswi apalagi dilandasi oleh pengaruh dan dominasi kuasa adalah ladang manipulasi.
“Sulit membedakan mana suka sama suka, dan mana hubungan yang didasari tekanan tersembunyi. Ketika seorang dosen menggunakan posisinya untuk mendekati mahasiswi, relasi itu sudah tidak sehat, apalagi jika sampai berujung pelecehan,” ujar Yufal.
Korban dalam kasus semacam ini tak hanya menghadapi rasa malu, tetapi juga tekanan psikologis yang berat. Rasa takut terhadap nilai, stigma sosial, dan pandangan kampus yang lebih peduli pada reputasi institusi membuat korban semakin bungkam.
N. Amalia, mahasiswi IAIN Kendari dan aktivis HMI, menilai kampus seharusnya tidak menutup mata. “Sangat disayangkan jika pelaku justru dilindungi hanya karena statusnya sebagai dosen. Ini bentuk pengkhianatan terhadap nilai keadilan.”
Ia juga mengingatkan bahwa pelaku kekerasan seksual seringkali adalah orang-orang terdekat, yang secara sosial dan profesional tampak ‘terhormat’, tetapi diam-diam menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan.
Dalam kasus RA, kinerja Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UHO pun patut dipertanyakan. Sejak kasus ini mencuat, belum ada kejelasan perkembangan penanganannya. Amalia menduga, bisa jadi ada oknum di dalam Satgas yang turut menutup-nutupi persoalan ini.
Lalu, di mana peran nyata Satgas PPKS UHO?
Secara struktur, satuan tugas ini memang ada. Namun dalam praktiknya, mereka terkesan pasif, tidak transparan, dan tidak berpihak. Seolah hanya hadir sebagai formalitas administratif semata. Padahal, kekerasan seksual di kampus bukan hal baru dan bukan perkara remeh.
S. Anwar, mahasiswa PGSD Unsultra, turut menyoroti relasi kuasa yang tidak sehat antara dosen dan mahasiswa. Ia menegaskan bahwa relasi semacam itu merusak tidak hanya secara personal, tapi juga institusional.
“Nama baik kampus justru lebih rusak jika pelaku terus dibiarkan tanpa sanksi. Kampus semestinya berdiri bersama korban, bukan melindungi pelaku.” ungkapnya.
Jika Universitas Halu Oleo ingin tetap dipercaya sebagai institusi pendidikan yang aman dan berkeadilan, maka kasus ini harus ditangani dengan cepat, tegas, dan transparan. Jangan biarkan korban berjalan sendiri dalam sunyi. Jangan biarkan kampus menjadi tempat aman bagi pelaku.
Kini saatnya UHO berpihak pada korban. Bukan pada citra, bukan pada pelaku, dan bukan pada sistem yang memilih diam.
Laporan : Redaksi
Muarasultra.com, KENDARI – Desakan agar Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Andi Sumangerukka (ASR) mencabut laporan terhadap…
Muarasultra.com, KENDARI - Pernyataan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Andi Sumangerukka, saat menemui sejumlah mahasiswa di…
Muarasultra.com, Konawe Utara – Ahli waris dari almarhum Nurdin Tepamba, atas nama Masnur Tepamba, membantah…
Muarasultra.com, Bau-bau - Terlibat masalah hutang piutang, mantan Bupati Buton dua periode, Samsu Umar Abdul…
Muarasultra.com, JAKARTA - Anggota DPD RI asal Sulawesi Tenggara, Umar Bonte, menantang klaim Gubernur Sultra…
Muarasultra.com, KONAWE – Dugaan pelanggaran dalam aktivitas operasional PT ST Nickel Resources, khususnya pada kegiatan…