Opini : Daya Rekat Kita Bernama Intelektualisme

oleh -146 Dilihat
oleh

Oleh : Indra Eka Putra
(Komisioner Bawaslu Kabupaten Konawe)

Muarasultra.com, Unaaha – Dalam mitologi yunani kita mengenal Dewa Hipnos (dewa yang menguasai tidur) yang mempunyai anak berjumlah 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) atau biasa disebut dewa-dewa Oneroi, mereka adalah dewa-dewa yang mengatur mimpi. Dari jumlah itu ada 3 (tiga) diantaranya dewa yang paling menonjol yaitu morfeus dewa yang ahli dan punya kemampuan bisa berubah menjadi manusia menyerupai siapapun dan dalam keadaan manapun didalam mimpi. Lalu, ikelos yang ahli dan punya kemampuan bisa berubah menjadi hewan apapun dan dalam keadaan manapun didalam mimpimu, kemudian terakhir adalah dewa fobetos yang ahli berubah menjadi objek alam.

​Mitologi yunani itu bolehlah tetap menjadi mitos, tetapi bahwa dalam mitospun tidak dapat menyangkali bahwa dewa-dewa oneroi tersebut mengakui bahwa morfeus, ikelos dan fobetos mempunyai keahlian dan pengetahuan atau kecerdasan yang dapat membuat mereka terus dibutuhkan dalam ‘kontelasi mimpi’ siapapun. Mereka mafhum bahwa jika ketiga dewa ini dengan keahlian dan pengetahuannya dapat merekatkan 996 dewa yang lain secara otomatis. Karena apa? Tentu dalam mitologi itu karena Intelektualismenya. Memang, perdefinisi hari ini masih saja ada yang membedakan bahwa kecerdasan atau intelektualisme itu kamar yang berbeda dengan adab. Tetapi bagi banyak filosof orang cerdas tanpa adab itu maka sesunggguhnya dia tidaklah cerdas karena Intelektualisme dan moral adalah satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Marilah mulai sekarang, semua orang yang tidak beradab itu meskipun banyak referensinya tidak dikatakan sebagai intelektual. Tetapi sekedar ‘orang banyak referensi’ itu saja.

Misalnya dalam Referensi sosial-kemasyarakatan, bagi kita menyatakan bahwa siswa adalah kaum terpelajar, dan level tertinggi dari siswa adalah ‘maha’ siswa itu sendiri. Interaksi dan dialektika diantara para pelajar itu sungguh menjadi suatu yang dinanti peradaban, sebab dengannya akan tumbuh daya kritis dan ilmu baru dari perdebatan atau dialektika para kaum terpelajar itu. Bayangkan jika kaum intelektual itu diwadahi oleh suatu organisasi yang tujuannya ‘kembali’ menegaskan tentang kemampuan ‘ala’ morfeus, ikelos dan fobetos diatas. Menakjubkan! Visi besar Suatu Organisasi dapat dillihat dari tujuannya, apa dan mengapa dia dibentuk lalu bagaimana dan kemana dia akan berlabuh adalah ‘epistem’nya kita menakar kebesaran dan kemuliaan tujuan suatu organisasi tersebut. HMI misalnya yang menjadi kepanjangan dari Himpunan Mahasiswa Islam sering disebut sebagai kawah candradimuka yang menyatakan tujuannya sebagai terbinanya insan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang di ridoi Allh SWT. Jelas menunjukan apa dan mengapa ia dibentuk serta bagaiamana dan kemana ia akan berlabuh.

​Jika membaca riwayatnya, Tujuan Pembentukannya mula-mula adalah untuk ikut mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari rongrongan penjajah yang belum selesai pada saat itu, kemudian mempertinggi derajat masyarakat Indonesia dari kejumudan dari ketertinggalan pendidikan bahkan kebodohan. Betapa pentingnya dan betapa muliannya tujuan pendiriannya saat itu. Artinya, saat itu konteks kelahirannya adalah dimasa revolusi jangankan bersekolah, hidup saja ditengah penjajahan sudah syukur. Tetapi, seiring waktu konteks tujuan HMI menjadi berubah dimana sejak orde baru hingga saat ini organisasi ini menekankan pada pembangunan intelektualisme, sekali lagi yang include dengan moral force itu sendiri. Mengapa? Karena organisasi ini menyadari bahwa tantangan setelah kemerdekaan adalah mengisinya dengan karya dan cipta intelektualisme yang dapat bercabang banyak misalnya kemajuan sains itu sendiri tanpa kehilangan jati diri ‘keislaman’ dan ke Indonesiaan kita.

​Kata ‘terbinannya’ insan akademis itu hemat saya akan mengarahkan kita kepada kontekstualisasi tafsir arthur scoupenhouer yang menyatakan bahwa dunia ini adalah reprenstase ulang kita (the world as my will and representation). Jika dunia ini tergantung presentase ulang kita, maka kecedasan kita mempresentasekan itu akan sangat tergantung pada bahan bacaan kita atau singkatnya intelektualisme kita. Sebab, diluaran sana bukan hanya HMI yang sedang menempa orang, bukan hanya NU atau Muhammadiyah (dengan tujuan mulianya) yang sedang membimbing orang. Sejarah mencatat bahwa organisasi asing yang bersifat klandestin juga banyak dan sedang menjalankan misinya. Semua organisasi yang lahir dari ‘perut bumi’ nya Indonesia (HMI, PMII, IMM, GMNI, GMKI, PMKRI, HIKMBUDHI) dll harus diterima sebagai bentuk saqofah dan hadhoroh dari anak bangsa yang sedang membangun Indonesia dari sisi dan ikhtiar masing-masing. Tapi, apakah daya rekat kita? Tiada lain dan tiada bukan (kata soekarno) tentulah Intelektulaisme!!

​Intelektualisme dapat memahamkan semua bahwa morfeus, ikelos dan fobetos dalam rangka memenuhi mimpi semesta bukan konteks egoisme parsial dan elementer. Tujuan kita jelas, tujuan kita mulia yaitu Masyarakat Adil Makmur yang di ridhoi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa. Siapa yang tidak sepakat dengan itu? Siapa yang tidak setuju dengan itu? Itulah sebabnya Himpunan ini mampu bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama dan menghasilkan banyak pemimpin bangsa dalam multi medan pengabdian dan dengan intelektual polimath kita karena, sekali lagi daya rekat kita memang konkret dan jelas sebagaimana senior-senior kita terdahulu yaitu Intelektualisme!

Laa ilma lana, ila maa alamtana inaka antal alimul hakiim;

​Anak HMI juga faham dan sangat mafhum bahwa tiada kecerdasan hermes dan idris yang datang kecuali dari Allah SWT, tidak mungkin sehebat itu phitagoras, empedokles dan thales jika bukan dari Allah SWT. Socrates yang banyak anak HMI perdebatkan sebagai Nabi (dalam candaan intelektual) tidak mungkin menyebut adanya kekuasaan ilahiah yang tak terhingga kepada para muridnya dan mau meminum racun jika tidak punya keyakinan intelektualisme tentang sesuatu yang tak terbatas. Hingga sampai kepada para filsuf muslim Al kindi, al farabi the second teachernya aristoteles, Imam Ghazali, Ibn Rush, hingga murthada muthahari dan Mulla sadra dengan al ashfar al-arba’a-nya jika bukan dari Allah Aza Wa Jallah. Semata-mata bahwa Intelektualisme muslim yang sempitnya ada pada HMI adalah dalam rangka mempertahankan bahkan terus memperkuat daya rekat Islam yaitu Intelektualisme itu sendiri; Man Aroda dunia fa Alihi bil ilmi, wa man arodal akhirati fa alaihi bil ilmi, wa man aroda bainahuma fa alaihi bil ilmi. Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *