Muarasultra.com, Langara, – Rangkaian kunjungan kerja perdana di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Kepala kantor wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Tenggara, H Zainal Mustamin, memberikan sambutan pada Dialog Kerukunan Umat Beragama lingkup Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), di Pendopo Rujab Bupati, Sabtu (12/11/2022).
Dialog ini turut dihadiri Bupati Konkep diwakili Kadis DLHK, Drs. Rustam Arifin, M. Pd, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Konkep, Hasrun Taleo dan Kabid Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Sultra H Muh. Saleh, Ketua FKUB Kabupaten Konkep, anggota FKUB dan sejumlah jajaran Kemenag Konkep.
Pada kesempatan tersebut Kakanwil menandatangani Prasasti Desa Sadar Kerukunan yang berada didesa Wawo Indah Kec. Wawonii Tengah Kab. Konawe Kepulauan.
Dalam sambutannya, H. Zainal Mustamin mengaku merasa bahagia karena bisa bertemu dengan para pejuang kerukunan, serta para penyuluh agama yang berada di garda terdepan dalam merawat kerukunan beragama.
“Ini menjadi tanggung jawab kita, sebab kerukunan itu dibangun bukan sekedar soal jumlah umat, tapi komitmen kita untuk menjaga persamaan, persatuan dan persaudaraan, sebagaimana tagline Kemenag Sultra yakni 3B (Bersama, Bersatu, Bersaudara). Bersama kita bisa, Bersatu kita kuat, Bersaudara kita rukun,” tegasnya.
Menurut Kakanwil, hal ini akan menjadi kontribusi bagi Indonesia dan dunia. Umat toleran bukan karena jumlah, tapi karena komitmen dalam diri dan jiwa masing-masing untuk hidup rukun dan damai. Karena, ketika kita rukun dengan umat Islam umat Katolik, umat Kristen, Umat Hindu dan umat Buddha yang ada di suatu tempat, pada saat yang sama di daerah seperti Bali, NTT, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Papua akan menggambarkan kerukunan yang sama. Tapi kalau di suatu daerah itu ada yang terluka kerukunannya, maka terasa sakitnya di wilayah lain di Republik Indonesia.
Karenanya, lanjut Kakanwil, nanti akan ada kesulitan-kesulitan umat muslim di beberapa daerah tersebut, termasuk kesulitan agama lain yang berada di wilayah muslim. Kalau di daerah tertentu itu ada satu saja luka kerukunan yang terjadi, maka akan cepat menasional dan mendunia.
“Misalnya jika ada gereja yang dibakar di daerah mayoritas muslim akan dengan cepat mendapat simpati dan pengaruh agama Kristen yang ada di daerah lain yang mayoritas. Begitu juga sebaliknya, jika ada masjid yang dibakar daerah mayoritas Kristen, simpati umat Islam di belahan bumi Indonesia lainnya akan muncul. Jika ini mengerucut menjadi kebencian, maka bisa berbahaya, dan inilah yang harus kita jaga,” jelas Kakanwil.
“Bukan soal jumlah, karena kita Indonesia sangat beragam dari segi budaya, suku dan agama. Di manapun kita berada kita bebas, karena tidak ada daerah atau suku yang menutup diri dari agama lain yang datang di daerah itu,” sambungnya.
Karena itu, Indonesia adalah negara yang akan terus akan merawat kerukunan karena tiga hal. Pertama, karena masyarakatnya bersedia untuk hidup bersama di bumi Indonesia yang dicintai, yang sudah diletakkan oleh Para founding father. Hakikatnya, agama itu adalah suci. Konflik, perpecahan, pembunuhan itu kotor dan tidak mungkin diperintahkan oleh agama.
Kedua, Indonesia tidak mewarisi sejarah perang antar agama sebagaimana perang antar agama yang terjadi di dunia barat. Ketika berbagai agama masuk di Indonesia, dalam masyarakat yang animisme dan dinamisme, tidak terjadi benturan perang. Dan hal itu tidak terwarisi hingga saat ini.
Ketiga, para tokoh agama Indonesia umumnya menentukan corak keberagamaan di Indonesia, di setiap wilayah dan daerah karakternya adalah tokoh-tokoh agama yang moderat.
“Karena itu, FKUB perlu terus mendorong dialog untuk memperkuat kerukunan dan memperkecil kecurigaan. Kemenag Sultra melakukan hal ini di 17 kabupaten/kota untuk merawat kerukunan bersama-sama FKUB di kabupaten/kota , serta bersama Bupati dan jajaran Kemenag,” imbuhnya.
Kakanwil menyebut, jika perang suku dampaknya hanya pada skala lokal. Namun jika perang agama terjadi, dampaknya akan menasional bahkan mendunia. Itu bisa menjadi sebuah masalah besar bagi kehidupan. Karenanya, Kakanwil mengimbau agar bersama berjihad untuk menciptakan kedamaian bukan Untuk merusak kedamaian. Karena, agama mengajarkan kedamaian dan cinta kasih.
Kakanwil juga mengajak seluruh yang hadir untuk terus merawat kerukunan, menjaga rasa kasih sayang diantara sesama dalam hubungan keberagamaan secara terus-menerus.
“Mari kita beragama dengan solidaritas kita yang kuat. Karena beragama tanpa cinta itu akan terasa hampa tak bermakna. Sebaliknya, bercinta tanpa agama maka tak akan kekal bahagia, maka mari kita jaga.
Kita masuk pada dimensi kualitatif bukan persoalan jumlah,” sebutnya.
Menurutnya, pengajaran agama harus melampaui dari sekedar soal syariat, fikih dan tata cara ibadah. Tapi harus meningkat dari sekedar ibadah, kepada makna spiritualitas. Menjadi spiritualis-spiritualis di agama masing-masing. Orang yang sudah mencapai level spiritualis dalam beragama, tidak pernah bertengkar, karena mereka sadar hal itu akan melukai keberagaman.
“Karena itu, tidak hanya pada aspek formalnya saja kita melaksanakan ibadah, tapi kita meningkat menjadi orang-orang yang menangkap makna terdalam menjadi spiritualis di masing-masing agama kita. Kita akan mendorong untuk terus saling pengertian, saling kebersamaan. Maka penyuluh agama, agar tetap membantu tugas-tugas kita untuk menjaga kerukunan, karena nanti KUA dan penyuluh agama akan menjadi rumah moderasi beragama di level kecamatan,” katanya.
Dengan demikian, sambung Kakanwil, para penyuluh dan KUA akan memberikan layanan kepada semua umat beragama, tidak hanya masyarakat lokal namun juga masyarakat luar yang datang harus dilayani dengan baik.
“Mudah-mudahan ini menjadi kekuatan bagi kita bersama bukan hanya hari ini. Kita kolaborasikan secara terus-menerus supaya ini tetap berjalan,” tandasnya.
Sumber :
https://sultra.kemenag.go.id/berita/read/512808/dialog-fkub-di-konkep–kakanwil-kemenag-sultra—kerukunan-terbangun-bukan-karena-jumlah-umat-tapi-komitmen
Laporan : Redaksi